SPONSOR

SPONSOR :

Information and Communication Technology and Its role in the process of Social Change

Information and Communication Technology and Its role in the process of Social Change
Pengantar
Kajian mengenai peran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di dalam kontribusinya memberikan dukungan kepada berbagai sektor kehidupan masyarakat berupa peningkatan efisiensi serta produktivitas sudah banyak disajikan di berbagai fora. Pada umumnya studi tentang peran TIK di dalam organisasi difokuskan pada persoalan teknis seperti bagaimana memperbaiki kinerja operasional, atau bagaimana TIK digunakan sebagai bagian dari strategi bisnis perusahaan. Kajian yang lebih luas seperti misalnya bagaimana dampak sosial dari perkembangan TIK yang sedemikian hebat selama dua dekade terakhir ini relatif masih sedikit dilakukan.
Dalam lingkungan sosial yang selalu berubah, terdapat setidaknya dua faktor yang memperngaruhi perubahan sosial itu sendiri: pelaku perubahan dan mereka yang terkena dampak perubahan. Dalam kaitan ini TIK dapat berperan dalam dua posisi sekaligus, sebagai aktor (means) pengubah dan sekaligus sebagai sasaran (ends) dari perubahan yang ingin dicapai.
Naskah singkat ini dimaksudkan untuk memberi gambaran hubungan sebab akibat yang diperankan oleh TIK dalam konteks perubahan sosial kemasyarakatan.


Pendahuluan
Teknologi diyakini sebagai alat pengubah. Sejarah membuktikan evolusi teknologi selalu terjadi sebagai tujuan atas hasil upaya keras para jenius yang pada gilirannya temuan teknologi tersebut diaplikasikan untuk memperoleh kemudahan dalam aktivitas kehidupan dan selanjutnya memperoleh manfaat dari padanya. Terdapat urutan yang sistematis dalam perkembangan teknologi, diawali dengan persoalan yang diciptakan atau yang dihadapi dalam keseharian. Ilmu pengetahuan dasar seperti fisika, matematika, kimia, menjadi modal utama dalam memecahkan persoalan dan menciptakan teknologi. Tahapan berikutnya, temuan teknologi ini diperkenalkan kepada masyarakat dan jika terbukti dapat membantu memudahkan aktivitas manusia kemudian memasuki tahap komersial. Mereka yang mampu memiliki teknologi menjadi penerima manfaat (beneficiaries) teknologi, sedangkan yang tidak mampu berada pada lingkaran luar penerima manfaat teknologi.
Kondisi mampu dan tidak mampu dalam memiliki teknologi inilah yang menjadi penyebab awal (primal causal) dari kesenjangan ekonomi dan sosial. Mereka yang mampu menghasilkan teknologi dan sekaligus memanfaatkan teknologi memiliki peluang yang lebih besar untuk mengelola sumber daya ekonomi, sementara yang tidak memiliki teknologi harus puas sebagai penonton saja. Akibatnya, yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin. Pada sisi gelap, teknologi dapat dituduh sebagai penyebab kesenjangan ekonomi dan sosial.
Keadaan inilah yang kemudian memunculkan ide perlunya pemerataan pemanfaatan teknologi hingga ke masyarakat yang bila secara individu tidak mampu memilikinya. Upaya menciptakan teknologi tepat guna di sektor pertanian, perikanan, dan industri rumahan (home industry) yang berbiaya murah dan dapat diterapkan oleh mereka yang berpendidikan rendah pernah menjadi agenda nasional di berbagai belahan dunia, khususnya di kalangan negara sedang membangun. Teknologi tepat guna menjadi tidak popular lagi menyusul semakin kompleksnya tatanan sosial serta munculnya produk teknologi menengah yang dapat dibuat secara massal dan berharga murah. Efek substitusi inilah yang mematikan upaya dibangunnya teknologi tepat guna di pedesaan.
Pemanfaatan bersama sumber daya teknologi menjadi solusi yang ditawarkan banyak pihak guna mengatasi keterbatasan daya beli terhadap teknologi. Termasuk dalam konsep ini adalah disediakannya angkutan massa di perkotaan atau dalam bidang layanan informasi adanya Community Access Center (CAP) dalam bentuk Warung Telekomunikasi (Wartel) dan Warung Internet (Warnet). Fakta menunjukkan bahwa anggota masyarakat tidak perlu harus memiliki teknologi untuk dapat menikmati manfaat teknologi. Dengan demikian yang penggunaan bersama sumber daya teknologi ini menjawab pernyataan mendasar, yang menjadi persoalan bukan pada kepemilikan atas teknologi tetapi akses kepada teknologi dan bagaimana masyarakat dapat seoptimal mungkin menggunakan teknologi untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Uraian di atas mengindikasikan dua hal, di satu sisi teknologi dianggap sebagai alat (means) yang menawarkan kemudahan dan pada gilirannya memberikan kemakmuran, di sisi lain karena kemampuannya memberikan kemakmuran teknologi menjadi tujuan (ends) masyarakat agar dapat memilikinya. Hubungan antara means dan ends ini menjadi pangkal dari fenomena sosial yang muncul dalam perkembangan teknologi. Sebagai means, teknologi hanyalah barang mati yang peran nyatanya sangat ditentukan oleh manusia yang mengendalikannya. Jika pengendalinya memiliki integritas yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya, maka teknologi akan terbawa ke suasana positif, dicitrakan sebagai bermanfaat bagi masyarakat. Sebaliknya jika pengguna teknologi berperangai egois, tidak peduli kepada lingkungan, maka dampak negatif dari pemanfaatan teknologi tersebut menjadi tidak terelakkan. Sebagaimana layaknya sebuah pistol, dapat berperan dalam pemberantasan pelaku kejahatan maupun sebagai alat kejahatan., tergantung pada siapa yang menggunakannya. Dengan demikian persoalan menjadi bergeser bukan saja pada teknologi-nya saja, melainkan perhatian harus dipusatkan juga pada manusia pengguna teknologi dan interaksi antara manusia tersebut dengan teknologi yang digunakannya.
Dalam hubungannya sebagai ends, tak dapat dihindarkan bahwa teknologi tertentu menjadi dambaan individu, masyarakat atau bahkan negara untuk memilikinya dan atau berhasil menguasainya. Persoalan yang menyertai keianginan ini adalah keterbatasan daya beli, baik untuk mengadakan penelitian dan pengembangan, pengadaan bahan baku, maupun pembuatan dalam skala produksi tertentu. Pada tataran mikro, dorongan memiliki teknologi yang terdapat pada individu dapat memicu tindakan kriminal atau tidak bertanggung jawab lainnya. Sementara pada tataran agregat, menjadi tugas pemerintah untuk membantu tersedianya teknologi tertentu yang dapat memudahkan kehidupan manusia. Strategi dan Kebijakan publik diperlukan untuk mengakomodasi persoalan teknologi sebagai ends ini.
Di antara bermacam teknologi, di tengah konteks pergulatan antara kemajuan di bidang sosial dan teknologi serta interaksi saling pengaruh di antara keduanya, TIK menempati peran sentral. Isu globalisasi, semakin cepat meluas keseluruh penjuru dunia karena fasilitasi TIK. Apa saja yang terjadi di berbagai bagian di planet ini menjadi semakin cepat tersebar dan mudah diketahui dengan memanfaatkan TIK. Semua ini menjadikan TIK sebagai agen perubahan yang mengubah tatanan sosial kehidupan manusia di seluruh dunia.


TIK Bukan Hanya Internet
Awam seringkali menganggap bahwa wujud dari TIK adalah Internet. Anggapan ini benar namun tidak tepat. Internet muncul sebagai hasil dari menyatunya (konvergensi) antara Teknologi Informasi (TI) dan Telekomunikasi. Sebelum muncul Internet, telah ada internet atau jaringan komputer lokal maupun antar lokal yang sifatnya tertutup. Sebelum muncul jaringan lokal, telah ada peralatan TI baik yang bekerja berdasar prinsip komputasi maupun secara mekanik elektrik. Contoh perangkat TI yang bekerja menggunakan mekanik elektrik adalah mesin ketik elektronik, alat cetak semi otomatik, relay atau switch telepon di sentral telepon, papan reklame yang dioperasikan menggunakan rangkaian elektronik analog, dan lain sebagainya.
Komputer dalam bentuknya sekarang merupakan evolusi dari perangkat komputasi elektronik analog, yang selanjutnya dikembangkan menggunakan elektronik digital dengan material silicon. Kebutuhan manusia berkomunikasi ditirukan kepada komputer sehingga muncullah teknologi yang memungkinkan komputer “berbicara” dengan komputer lainnya, atau yang kemudian disebut komunikasi data. Keterhubungan antar komputer membentuk jaringan. Sebagaimana manusia, jaringan komputer-pun menjadi meluas sebagaimana kemampuan manusia membangun keterhubungan dengan manusia lain. Dari sinilah yang kemudian menghasilkan jaringan komputer global atau Internet.
Teknologi elektronika digital dengan prinsip kerja komputasi tidak hanya digunakan pada komputer sebagaimana yang lazim dikenal awam, namun juga dipakai pada berbagai aplikasi, seperti jam digital, sistem pengendalian proses, penyiaran dan penerimaan televisi dan radio, peralatan rumah tangga (home appliances), mainan anak – anak (toys), pesawat telepon, peralatan telekomunikasi, dan masih banyak lagi lainnya. Semua perangkat ini tergolong TI karena memenuhi definisi TI yakni teknologi yang digunakan untuk mengumpulkan, mengolah, menganalisis, dan menyajikan informasi. Pada perkembangan terkini semua peralatan ini dapat berkomunikasi satu dengan lain menggunakan protokol komunikasi Internet Protocol (IP), sehingga kita dapat menyaksikan bagaimana sebuah Air Conditioner (AC) di rumah dapat dioperasikan dari mana saja melalui Internet. Dapat dimaklumi bila kalangan awam beranggapan bahwa TIK itu identik dengan Internet.


Semua Bebas Menjadi Sumber Informasi
Perubahan pertama yang dapat ditunjuk sebagai akibat perkembangan TIK adalah semua orang yang dapat menggunakan akses ke Internet bebas untuk menjadi sumber informasi. Sebagai salah satu wujud teknologi hasil konvergensi antara Teknologi Informasi dan Telekomunikasi, Internet menawarkan banyak kemudahan dalam berkomunikasi. Jika di masa lalu antar individu dihadapkan pada terbatasnya moda komunikasi, dengan Internet persoalan jarak, waktu, modus, dan bentuk informasi tidak lagi menjadi isu persoalan. Internet mengubungkan jutaan manusia di muka bumi ini, tanpa para komunikan perlu mengetahui keberadaaan lawan komunikasinya. Informasi dapat dikirim dan diterima dalam berbagai bentuk, suara, gambar, data, teks, maupun kombinasi dari semua itu. Melalui Internet ini pula, terbentuk komunitas maya yang berkumpul sesuai dengan minatnya masing – masing.
Para netter – demikian sering disebut – tidak lagi terbelenggu oleh keterbatasan peran sebagai pembaca informasi, tetapi pada posisi yang sama sekaligus dapat berperan sebagai sumber informasi. Setiap netter yang tergabung dalam sebuah komunitas maya dapat menuliskan apa saja buah pikirnya, termasuk yang dimaksudkan untuk menyerang pihak lain, tanpa terhalang oleh sensor ataupun editing dari pihak lain. Satu – satunya alat yang dapat digunakan untuk mengendalikan informasi yang dihasilkan oleh para netter adalah komitmennya pada norma dan etika. Dikatakan demikian karena di banyak negara hukum selalu ketinggalan dalam mengantisipasi kemajuan dan kebebasan yang dialami oleh para pengguna teknologi. Meskipun demikian, di beberapa negara, kebebasan dalam mengeluarkan ide dan pikiran melalui Internet sudah mulai dirasa menganggu harmoni kehidupan sosial. Oleh karenanya dibuatlah peraturan dan perundangan guna melingdungi para pihak yang dirugikan dan menghukum mereka yang terbukti menggunakan TIK secara merugikan orang lain.
Mailing list, blog, chating, website merupakan arena komunikasi yang dimaksud di atas. Ciri utamanya adalah adanya komunikasi interaktif, di antara para netter. Di kalangan media massa perubahan ini mulai semakin nyata terlihat, peran sentral penerbit media cetak berangsur – angsur menjadi berkurang. Jika semula media cetak konvensional memegang kendali atas pemberitaan, mengatur siapa yang kontribusi opininya akan diterbitkan, mengalokasikan halaman untuk pemasangan iklan, dan mengendalikan distribusi, setelah munculnya media massa online, kondisi semacam ini tidak sepenuhnya lagi eksis. Narasumber memiliki kesempatan untuk menayangkan aktivitas dan atau idenya di website yang dikelolanya, penulis kolom tidak perlu repot lagi harus menunggu giliran tulisannya dimuat agar, agar dapat segera dibaca publik, penulis kolom dapat membuat website sendiri, atau mengirimkan tulisannya kepada milist yang diikutinya. Demikian pula pemasang iklan, rata – rata perusahaan menengah dan besar sudah memiliki website yang memuat informasi tentang produk dan atau jasa yang dipasarkan, ketergantungan kepada media massa cetak menjadi berkurang. Media cetak harus memiliki armada distribusi, yang memerlukan pengelolaan tersendiri. Hal ini tidak didapati pada media online. Kendala periodisasi dan distribusi fisik tidak terjadi karena penerbitan berita dapat dilakukan kapan saja, sementara disribusi berita berlangsung secara elektronik seketika ke segala penjuru dunia.


Keseragaman Gaya Dan Penampilan
Radio, televisi dan Internet mendorong terjadinya universalisasi gaya hidup dan penampilan. Jika kita perhatikan, bila semula hanya di Jakarta dan kota- kota besar lainnya saja yang terdapat restauran McDonald, Kentucky Fried Chiken, maka sekarang ini kedua restaurant tersebut sudah banyak di kota- kota sedang hingga kota kecamatan yang ramai kegiatan ekonominya. Hal yang sama terjadi pada cara berpakaian para remaja, atau usia sekolah. Model tank top ala Britney Spear, atau gaya bicara dengan logat Jakarta sudah tidak lagi menjadi milik istimewa orang perkotaan, bahkan di desa di lereng gunungpun anak – anak kecil sudah fasih berbicara gaya pemain sinetron di televisi nasional.
Perhatikan juga generasi dibawah, kalangan anak – anak usia balita hingga remaja ABG (Anak Baru Gede) model pakaian, perlengkapan yang melekat di badan, mainan yang disukai, bekal makanan yang dibawa ke sekolah, makanan kesukaan, topik pembicaraan, komik yang dibaca, dan lain sebagainya semuanya menunjukkan kemiripan baik mereka yang tinggal di kota maupun di pedesaan. Yang membedakan barangkali kualitas dan kuantitasnya saja, mereka orang tuanya tergolong mampu menggunakan pakaian, perlengkapan, mainan, makanan yang lebih berkualitas, sementara mereka yang kemampuan ekonominya lemah, dengan memiliki substitusinya saja sudah cukup gembira. Yang penting bukan pada kualitas dan kuantitas namun pada gaya dan penampilan.
Radio dan televisi juga mengubah perilaku ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga, pekerja kantoran, eksekutif perusahaan, bahkan elite politik. Ada era di mana ibu – ibu rumah tangga bersaing dengan para pembantu rumah tangga dalam membincangkan serial sinetron. Ada pula suatu masa di mana para remaja wanita harus mengubah gaya rambutnya untuk mengikuti model iklan yang tiap saat muncul di televisi. Para pekerja kantoran terpaksa meninggalkan tugasnya hanya untuk menyaksikan siaran langsung pertandingan tinju. Eksekutif bisnis harus menugaskan stafnya memonitor televisi dan radio terus menerus untuk mengetahui apakah iklan yang dipasang di media massa tersebut benar – benar ditayangkan/dudarakan sesuai dengan perjanjian. Dan kit amelihat bagaimana para elite politik berlomba – lomba membangun citra diri dengan memanfaatkan media cetak dan elektronik. Lalu muncullah selebritisme, suatu fenomena sosial yang menganggap bahwa mereka yang sering tampil di media massa pastilah orang yang sukses, berbobot, pakar di bidangnya, layak untuk diikuti pendapatnya maupun gayanya.


Demokrasi Menjadi Lebih Baik
Setelah lebih dari tiga dekade di bawah kepemimpinan asional yang otoriter dengan demokrasi perwakilan yang semu, kekuasaaan presiden hampir tak terbatas, dan maraknya perilaku kolutif dalam arena politik nasional, dorongan perubahan ke arah negara Indonesia yang lebih demokratis menjadi semakin mudah terwujud dengan fasilitasi TIK. Perjuangan demokrasi memerlukan koordinasi dan komunikasi intensif di antara para aktivis sebagai lokomotif dan masyarakat luas sebagai penumpang gerbong demokrasi. Karakter TIK yang egaliter sangat sesuai dengan sifat demokrasi, oleh karenanya dalam konteks pembangunan demokrasi TIK lebih tepat diposisikan sebagai means dari pada ends.
Efek positif dari semua bebas menjadi sumber informasi adalah terfasilitasinya kebutuhan akan kebebasan berbicara yang menjadi syarat dasar demokrasi. Penyebaran informasi berlangsung secara peer to peer, one to one, one to many ataupun broadcast. Tidak ada hirarki penyampaian informasi yang mengarah kepada filterisasi informasi sebagaimana terjadi pada sistem informasi di suatu organisasi tertutup. Ide perjuangan demokrasi dengan mudah mencapai sasaran masyarakat luas tanpa terkendala oleh rejim pengawasan informasi yang dilakukan oleh penguasa. Pada proses selanjutnya TIK mendorong terjadinya kesamaan ide, sebagaimana terjadi pada keseragaman gaya dan penampilan. Yang membedakan hanyalah substansi informasinya saja. Pada yang pertama yang menonjol adalah efek peniruan yang menjurus ke arah konsumtifisme, sedangkan pada gerakan demokrasi TIK berhasil menjadi wahana penyamaan persepsi demokrasi, pendorong keputusan untuk melakukan perubahan ketata – negaraan.
Peran TIK dalam proses demokrasi tidak terbatas pada wahana penyamaan persepsi saja melainkan lebih banyak dari itu. Dalam proses kritis yang menjadi acuan adanya demokrasi, TIK membuktikan dirinya memberikan kontribusi besar dalam proses pemilihan umum (pemilu). Penggunaan TIK dalam proses penghitungan suara menjadi salah satu yang dapat ditunjuk sebagai bukti. Selain itu, ada banyak sekali bukti bagaimana TIK melancarkan proses pemilu. Sejak proses pendaftaran partai politik, pendaftaran calon pemilih, seleksi partai yang layak untuk ikut pemilu, kampanye, pengelolaan organisasi partai politik, pendaftaran dan proses adminstrasi calon legislatif, hingga penentuan pemenang pemilu, semua aktivitas ini menjadi tidak terbayangkan betapa sulitnya jika tidak menggunakan TIK. Setelah pemerintahan baru terbentuk, masyarakat menggunakan TIK untuk mengetahui kinerja pemerintah, berinterkasi dengan pejabat pemerintah, maupun memberikan penilaian atas kinerja pemerintah. Ciri – ciri negara demokratis menjadi semakin nyata dengan fasilitasi TIK.

Peluang Bisnis Baru“Tidak ada detik.com bila tidak ada Internet.” Kalimat ini disampaikan oleh Budiono Darsono penggagas dan sekaligus pemilik portal berita detik.com. Fenomena perubahan yang muncul seiring dengan maraknya Internet adalah tumbuh menjamurnya bisnis berbasis Internet semacam detik.com. Nama – nama situs dagang di Internet semacam Google, Yahoo, Amazon, eBay, Lelang.com, indoexchange.com, klikbca, dan lain sebagainya sudah menjadi istilah familiar di kalangan bisnis dan pengguna TIK. Awal tahun 1999 hingga akhir 2000 dunia bisnis pernah mengalami booming dotcom, suatu model bisnis baru yang dikembangkan dengan menggunakan Internet sebagai sarana dan media transaksi.
Electronic business (e-business) dan Electronic Commerce (e-commerce) menjadi jargon yang masih hidup hingga kini. Bahkan futuris sekelas Lester Thurow, Carl Shapiro, Paul Krugman, Don Tapscott menjelang pergantian abad milenium dengan yakin mengatakan Internet akan mengubah conventional economy menjadi new economy atau digital economy. Suatu kondisi ekonomi yang diwarnai dengan aktivitas bisnis berbasiskan transaksi melalui Internet. Gambaran akan terjadi perubahan besar dalam dunia bisnis didukung oleh liputan media maupun banyak terbitnya buku yang mengulas tentang e-business dan e-commerce. Model bisnis B2C, B2B, C2C menjadi topik utama pembicaraan di berbagai seminar. Sebuah majalah ekonomi bahkan merasa perlu untuk mengubah logo, tampilan dan sajian berita disesuaikan dengan serba “e” yang diyakininya akan terus berlangsung.
Fenomena di atas menggambarkan bagaimana antusiasme kalangan bisnis dalam menyambut Internet. Perubahan ternyata juga terjadi pada perusahaan lama yang kemudian menyadari perlunya memiliki sarana interkasi dengan stakholder melalui Internet. Maka kemudian muncul berribu nama_perusahaan.com atau nama_perusahaan.co.id yang semula menayangkan informasi tentang perusahaan beserta produk dan jasa yang dipasarkan, hingga akhirnya banyak di antaranya yang memanfaatkan Internet untuk transaksi bisnis. Jika pada model pertama – detik.com, amazon, yahoo, ebay dan lainnya – menggunakan konsep click and mortar, yang belakangan muncul diberi atribut brick and mortar. Click and mortar mengacu pada model bisnis baru yang operasionalnya dan sumber penghasilannya sepenuhnya mengandalkan transaksi melalui Internet. Sedangkan brick and mortar mengacu pada bisnis konvensional yang menggunakan Internet sebagai sarana pengembangan bisnis untuk memperkuat bisnis konvensionalnya. Kekuatan bisnis masih terletak pada modus bisnis konvensional.
Di antara jutaan dotcom yang pernah tumbuh, setelah melalui fasa pendewasaan (maturity) hanyalah mereka yang memiliki model bisnis solid saja yang masih tetap eksis. Sebagian besar tumbang menelan kerugian. Internet berhasil mendorong penciptaan bisnis baru, harapan baru dan perilaku bisnis yang sebelumnya bahkan tidak terbayangkan. Namun demikian, bisnis adalah bisnis, Internet hanyalah sarana bisnis, bagi banyak orang, Interney bukanlah bisnis itu sendiri. Memang ada yang menjadikan Internet sebagai bisnis seperti penyelenggara Jasa Akses Internet (ISP dan Warnet) dan pengembang aplikasi Internet (web designer), namun demikian jumlahnya tidaklah sebesar dotcommer.
Kiat yang banyak dipakai para pebisnis Internet antara lain “tidak ada yang tidak dapat dibisniskan di Internet.” Daya pikat Internet sebagai alat dan sekaligus tujuan bisnis dipengaruhi juga oleh kemampuannya menjangkau pasar di seluruh dunia. Sebuah rumah penginapan kecil di pedalaman Finlandia yang selalu diselimuti es menjadi terkenal di seluruh dunia karena dipromosikan melalui Internet. Para turis harus rela mengantri sampai enam bulan untuk dapat giliran menginao di penginapan tersebut. Seorang wanita di Bandung selatan menjadi terkenal di seantero dunia dan bertambah kekayaannya setelah ia membuka jasa perdagangan melalui Internet. Masih banyak contoh sukses (dream come true) bisnis yang dilakukan melalui Internet. Ini semua menggambarkan perubahan di dunia bisnis yang terjadi karena adanya Internet.


Perubahan Dalam Layanan Publik
Dampak TIK tidak saja melanda perusahaan atau organisasi privat. Al Gore dikala masih menjadi Wakil Presiden Amerika Serikat menjadi pejabat negara pertama di dunia yang menyatakan perlunya birokrasi pemerintahan memanfaatkan TIK untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan publik. Jauh sebelum itu, Lee Kuan Yew Perdana Menteri Singapura memerintahkan kepada aparat di bawahnya agar dapat menyelesaikan setiap permintaan layanan dari masyarakat selambat –lambatnya dalam tempo dua kali dua puluh empat jam. Permintaan layanan publik semacam ini tidak dapat dengan mudah dipenuhi bila hanya dikerjakan secara manual, harus menggunakan TIK untuk menjawab perintah Perdana Menteri. Al Gore dan LKY dapat dijadikan contoh bagaimana pemimpin negara mengawali gerakan untuk mengotomatisasikan layanan publik menggunakan TIK.
Dalam perkembangan selanjutnya, yang terjadi tidak hanya otomatisasi layanan publik, tetapi lebih dari itu terjadi efisiensi dan peningkatan produktivitas yang luar biasa, serta peningkatan citra pemerintah di hadapan masyarakat yang dilayaninya. Electronic Government (e-Government) menjadi terminologi yang sering dipakai untuk mendorong terjadinya transformasi paradigma dalam layanan publik. Akuntabilitas, transparansi, akurasi, kecepatan proses layanan, dan produktivitas menjadi kata yang sering diasosiasikan dengan e-Government.
Pemanfaatan TIK di lingkungan instansi pemerintah dalam kemasan e-Government dikhawatirkan pada akhirnya tidak berbeda dengan hembusan Sistem Informasi Manajemen Nasional (SIMNas) dan berbagai program pemerintah di bidang TIK lainnya yang selalu kandas di tengah jalan seiring minimnya komitmen dari pemimpin nasional, pergantian kebijakan akibat pergantian menteri atau tidak adanya anggaran yang memadai. Jika demikian, keberhasilan negara – negara maju dalam memanfaatkan TIK utuk mereformasi birokrasinya, tidak dapat ditiru oleh Indonesia. Dalam hal ini, TIK tidak dapat dituduh sebagai biang kegagalan, atau e-Government hanyalah retorika belaka, namun kunci persoalan kembali kepada manusia yang mengendalikan TIK.


Kejahatan Baru
Internet bagaikan pisau, digunakan oleh Ibu rumah tangga baik – baik bermanfaat untuk keluarga, digunakan oleh wanita jalang menjadi sarana pamer aurat. Dampak negatif yang muncul dari pemanfaatan teknologi selalu tidak dapat terhindarkan. Persoalannya, Internet mendorong munculnya jenis – jenis kejahatan baru yang tidak ada sebelumnya. Selain itu cakupan dari kejahatan yang dilakukan melalui Internet sulit diukur dampak langsungnya karena jangkauan Internet yang sedemikian luas.
Dalam kasus penyebaran virus I Love You misalnya, jumlah korban yang terserang hampir separo dari pengguna Internet pada waktu itu. Kerugian yang diderita korban sulit terukur besarnya, karena korban sulit teridentifikasi disebabkan lokasi tersebar di seluruh dunia. Kejahatan penipuan, pencurian nomor kartu kredit, pornografi merupakan beberapa contoh kejahatan konvensional yang menjadi lebih besar magnitude-nya karena dikerjakan dengan fasilitasi Internet. Selain itu, perusakan situs Internet, pengiriman email sampah (spam), pengiriman virus, memata – matai aktivitas seseorang (spyware), mengacaukan trafik jaringan (DDOS) merupakan contoh kejahatan baru yang muncul setelah adanya Internet.
Jenis – jenis kejahatan yang dilakukan menggunakan Internet diperkirakan akan meningkat baik modus maupun kejadiannya. Dorongan kepada seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan di Internet sangat banyak, antara lain karena antara pelaku dan korban tidak perlu berada pada ruang dan waktu yang sama, seringkali korban dan pelaku tidak saling mengenal, makin mudahnya penggunaan Internet melalui tampilan program yang user friendly, dan masih lemahnya prasarana hukum yang mengatur bidang Cyber.


Penyesuaian Perundangan dan Peraturan
Seorang pelaku carding mengatakan melakukan carding karena dia menganggap di Repbulik Indonesia ini tidak ada aturan yang dapat menghukum pencuri di dunia maya. Baginya dunia maya adalah maya, tidak ada wujud, dan oleh karenanya segala perbuatan yang dilakukan di dunia maya tidak punya implikasi hukum. Seorang carder yang ditangkap polisi dalam pengakuannya mengatakan tidak merasa mencuri kartu kredit dan selanjutnya menipu merchant karena semua aktivitas tersebut dilakukan secara terbuka di Warnet. Seorang teman praktisi TIK dengan bangga menyatakan memiliki ratusan nama domain yang identik dengan nama – nama perusahaan terkenal, dengan harapan suatu saat perusahaan – perusahaan tersebut akan membeli nama domain yang dikuasainya tersebut. Jika perusahaan menolak membeli, maka teman ini akan meng-hacked situs milik perusahaan tersebut, dan kemudian menawarkan jasa security sistem informasi. Seorang pengelola rumah hiburan, diam – diam mengirim email kepada relasi dan berbagai milist yang berisi alamat situs rumah bordil tersebut, di dalam situs tersebut ditayangkan gambar wanita yang siap melayani tamu dengan tarif tertentu. Seorang polisi mengeluh karena setelah susah payah berhasil menangkap carder, dan pengelola bordil maya, dalam proses persidangan hakim dan jaksa tidak dapat meberi hukum yang adil karena kedua hakim dan jaksa menganggap bukti yang diajukan tidak memenuhi ketentuan perundangan dan tidak ada undang – undang yang layak dipakai untuk mengadili kasus tersebut. Akibatnya polisi harus menjelaskan proses perolehan alat bukti dan jaksa/hakim menggunakan undang – undang pidana biasa (KUHP) untuk mentuhi hukuman kepada terdakwa.
Ilustrasi kejadian di atas menggambarkan sudah saatnya tersedia Undang – Undang dan peraturan yang khusus mengatur pemanfaatan TIK khususnya Internet. Pelaku e-commerce dan masyarakat pengguna e-Government perlu menyadari bahwa jika muncul konflik di antara para pihak yang bertransaksi, maka hukum yang ada masih belum layak digunakan untuk mengadili kasus yang muncul. Kekhawatiran terhadap potensi kerugian akibat tidak adanya kepastian hukum dalam transaksi melalui Internet inilah yang menyebabkan banyak mitra bisnis di luar negeri tidak bersedia berbisnis dengan pelaku bisnis Internet di Indonesia.
Selain perundangan, implementasi e-Government yang mengarah pada paperless transactions juga mensyaratkan perlunya dilakukan perubahan terhadap berbagai peraturan dan perundangan yang ada pada saat ini. Laporan pajak melalui Internet misalnya, menjadi dipertanyakan efektivitasnya jika prosedur operasional standar yang berlaku tidak diganti dengan yang berorientasi ke online transactions. Layanan KTP melalui Internet, menjadi kehilangan ruh perubahan bila ternyata masih harus disertai dengan transaksi bawah meja.



Tantangan Bagi Pemerintah
Berbagai pemerintah di segenap kawasan telah mengantisipasi perubahan yang disebabkan oleh TIK. Kebijakan dan peraturan dibuat untuk memfasilitasi masyarakat warganya agar dapat seoptimal mungkin memanfaatkan TIK secara benar dan bertanggung jawab. Kebijakan dan peraturan harus diarahkan untuk mendorong makin tingginya nilai – nilai positif dari TIK, dan menekan serendah mungkin dampak negatif dari pemanfaatan TIK.
Perluasan akses kepada TIK, penambahaan aplikasi dan konten, penguatan pelaku usaha di bidang TIK agar lebih kompetitif, pendidikan sumber daya manusia agar trampil dan mumpuni di bidang TIK, penyediaan bantuan dana bagi mereka yang tergolong miskin untuk memperoleh akses kepada informasi, kemudahan perijinan bagi penyelenggaraan layanan TIK, merupakan beberapa contoh isu yang merupakan tantangan bagi pemerintah.
Dalam konteks pembinaan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian, ketentuan yang berlaku di industri jasa telekomunikasi menjadi tidak relevan apabila diterapkan begitu saja dalam pengaturan pemanfaatan TIK.


Penutup
Perubahan sosial selalu terjadi setiap saat secara terus menerus. Perubahan sosial tersebut terjadi karena diinginkan atau sebagai dampak dari perubahan pada sektor lain yang terkait dengan masalah sosial. Perubahan itu sendiri dapat menjadi tujuan dan sekaligus sebagai alat untuk mencapai tujuan. TIK terbukti berperan sebagai salah satu faktor pengubah tatanan sosial. Perubahan sosial yang diakibatkan oleh pemanfaatan TIK terjadi di lingkungan ekonomi, bisnis, politik, pemerintahan, dan terutama dalam pergaulan antar anggota masyarakat.
Dampak dari perubahan yang bersifat positif menjadikan faktor pengubah beralih peran dari yang semula sebagai alat menjadi tujuan agar dapat dimiliki untuk mengubah kondisi pemiliknya. Implikasi dari interaksi semacam ini menuntut dukungan semua pihak terutama pemerintah agar mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk memiliki TIK menjadi berkesempatan memanfaatkannya, perubahan sosial yang terjadi dari pemanfaatan TIK dapat terkendali sehingga dampak negatifnya minimal, serta adanya perlindungan bagi pengguna TIK dari tindak kejahatan yang dilakukan sesama pengguna TIK. Netralitas dan fleksibilitas TIK menjadikan peran sosial TIK sangat tergantung pada pengendalinya.

0 comments:

Posting Komentar

Follow Me

SPONSOR :

SPONSOR

SPONSOR :

 

SaHaRa LaPTOp Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger